Kamis, 08 Agustus 2019

Jumat

Hari ini, tepat pada hari kamis tanggal 08-08-2019 pukul 18.15 untuk pertama kalinya saya sebagai seorang ayah memukul pantat anak saya. Keras tidak, anak saya pun tidak menangis.. pemicunya sebenere bukanlah hal yang besar, namanya juga anak umur 2 tahun lebih sedikit. masih belum mengerti yang dia lakukan, dan yang dia mengerti adalah melakukan apa yang menjadi rasa penasaranya. oh iya, sempat lupa memperkenalkan nama anak saya. anak saya bernama Aulia Adi Rahman dari seorang ibu bernama Pindah Susanti (wanita yang sangat saya sayangi) dan seorang ayah (saya sendiri) yang Jatuh cinta dengan istri saya pada saat pertama kali bertemu. malam ini mungkin malam yang sangat sulit saya lupakan dikarenakan malam ini terjadi sebuah moment yang seharusnya tidak boleh dilakukan. pemicunya anak saya menarik laci lemari dan jatuh tepat di atas laptop saya ini. bukan tidak sadar saya memukul anak saa tersebut, hal ini terpaksa saya lakukan agar timbul rasa nurut kepada orang tua. sedih pasti, menyesal sangat, tapi tetap menurut pendapat saya itu memang harus dilakukan. mungkin bagi sebagaian pembaca disini mungkin berfikir hal yang saya lakukan itu salah, mungkin ada yang berpendapat menciptakan rasa takut pada anak akan mematikan kreatifitas atau bla bla bla... yup, saya hargai semua pendapata pembaca, tapi percayalah, saya sebagai seorang ayah dari Aulia Adi Rahman juga menginginkan yang terbaik buat anak saya. Nak,, Mungkin kalimat ini tidak bisa langsung saya ucapkan ke kamu, mungkin kamu juga belum mengerti makna kata maaf, Bapak minta maaf nak. Adi, bapak sayang banget sama Adi, Tumbuhlan menjadi anak yang ceria, Pintar, sehat, nurut kedua orang tua, sholeh serta dimudahkan rizkinya. Maafkan bapak karena waktunya bapak banyak terbuang diluar, iklaskan waktu bapak untuk mencari rizky untuk mencukupi kebutuhanmu, Bapak ingin memberikan yang terbaik buat Adi. I LOVE You Nak.

Minggu, 17 Agustus 2014

Sara Island - Porodisa Dreamland

Selamat datang di blog ane. Kali ini saya akan menceritkan tentang petualangan saya ke Pulau Sara. Pasti kalian baru denger kan nama Pulau Sara. Ok langsung aja lah... Pulau Sara adalah Pulau yang terletak di Kabupaten Kepulauan Talaud, nah kalo yang masih bingung dimana Talaud itu, coba cari aja di google maps. Pasti ada deh Pulau kecil terletak di ujung Pulau Sulawesi Utara. Tapi jangn cari di Atlas, soale gak kelihatan, mungkin karena terlalu kecil Pulaunya. Hehehhee... Pulau Sara disini adalah Pulau yang gak berpenghuni, tidak ada manusia atau hewan darat yang tinggal disana. Hal ini di karenakan di Pulau Sara tidak ada air tawar. Yang ada disana cuman pohon pohon dan semak belukar. Pertama kali saya lihat Pulau Sara itu ya cuman Pulau di tengah lautan dengan di tumbuhi oleh pohon-pohon besar, sekilas tidak ada yang menarik dari Pulau Sara dan terkesan biasa-biasa saja bagi saya. Perjalanan ini dimulai karena pada waktu itu ada libur yang lumayan panjang, saya dan beberapa teman yang berasal dari jawa berkumpul di rumah salah satu teman yang berasal dari jawa juga, biasa anak perantauan, berkumpul dengan teman dari daerah yang sama adalah suatu kebahagian tersendiri. Satu dua hari ok lah masih seneng kumpul bareng walaupun hanya di rumah, tapi lama lama kesenengan itu berubah jadi kebosanan, jadi untuk menghilangkan kebosanan kami mencari sebuah ide untuk jalan bareng, tak lama, kami sepakat untuk pergi ke Pulau Sara, yup, Pulau tak berpenghuni itu. Sesegera setelah disepakati, kami semua bagi tugas, ada yang beli ikan segar, nasi, dan dabu dabu (sambal), dan ada lagi yang kebagian tugas untuk mencari speedboart yang bisa di sewa untuk kesana. Tak perlu waktu lama, semua sudah kelar, tinggal berangkat ke Pulau Sara. Untuk menuju Pulau Sara kami harus ke pelabuhan dulu dengan manaiki bentor alias becak motor, lima mneit kami sudah sampai di pelabuhan, sesegera mungkin kami naik speedboard yang sudah di sewa. Sekitar 30 menit, speedboart sudah sampai di Pulau Sara, and WOW, AMAZING, itulah kata pertama kali yang keluar dari mulut saya. Saya rasa peribahasa yang bunyinya Don’ judge the book from its cover itu benar adanya, seperti yang sudah saya bilang di awal Pulau Sara yang bagi saya tak menarik, yang kelihatanya cuman ada pohon-pohon dan semak belukar, Pulau yang saya anggap remeh, ternyata mempunyai ke eksotisan dan keindahan tersendiri. Bagaimana tidak ketika turun dari speedboart, pertama kali pula saya menginjakkan kaki di pasir yang selembut tepung itu, yup pasir disana sangat lembut dan halus, mungkin hampir sama seperti tepung. Begitu lihat di garis pantainya mata di suguhkan dengan garis pantai yang indah, ketika menoleh lurus berlawanan dengan Pulau Sara, kami bisa melihat bangunan bangunan rumah yang berdiri kokoh di Pulau lain dan beberapa aktifitas di laut seperti perahu nelayan yang sibuk mencari ikan dan speedboart yang lalu lalang mengantarkan para penumpang untuk menyebrangi laut. Setelah puas menikmati pemandangan itu, kami mancari tempat untuk membuat api untuk membakar ikan yang sudah kami persiapkan sebelumnya, sambil menunggu kami berjalan jalan di sekitar area tersebut, setelah puas berjalan jalan, saya dan beberapa teman tidak sabar untuk membasahi tubuh ini dengan air laut, tanpa di komando pun kami langsung berenang dan bermain air sepuasnya. Perairan di sana sangat tenang dan kedalaman yang tidak begiut dalam, sehingga membuat kami leluasa untuk berenang. Berhubung waktu yang sudah lumyan sore dan hampir satu hari penuh kami menghabiskan waktu disana, kami memutuskan untuk pulang. Salama dalam perjalanan pulang, ras kagum, rasa bahagia tetap mash ada,sungguh perjalanan yang menakjubkan, perjalanan yang membawa cerita dan kenangan tersendiri bagi saya, rasa kebersamaan dengan kawan, canda tawa semua tertumpah di situ tanpa ada sedikitpun rasa kesedihan yang ada.
awal mula sebuah perjalanan....
pasirnya halus dan lembut banget men...
Pemandangan yang bisa di lhat di Pulau Sara
menikmati pemandangan yang ada
bakar ikan dan makan bersama sebenere masih banyak foto yang bagus yang masih bisa di upload, tapi itu udah cukup, oh ya sekedar info foto ini di mabil hanya menggunakan camdig, thanks gan udah mau bca blog ane, walaupun mungkin bagi kalian yang bca tulisan ane jelek ambrul adul atau apalah, tapi tetep bagi ane ni tulisan bagus. hehehe (muji diri sendiri) tapi satu yang harus agan tau,, terkadang gambar itu tidak lebih bagus dari yang aslinya.. thanks gan...

Sabtu, 05 Juli 2014

you will never believe before it happen in your life

Perjalanan ke Pulau Salibabu Masih tergambar jelas dalam ingatan ketika saya akan melakukan perjalanan ke pulau sebelah hanya untuk sekedar beribadah dan pergi ke pasar. Ya, pada waktu itu tepat pada hari Jum’at. Sudah menjadi kewajiban setiap muslim jika setiap hari Jum’at harus melakukan sholat Jum’at di masjid. Tapi semua itu tidak berlaku untuk saya. Padahal saya adalah seorang muslim. Hal ini di karenakan jarak antara tempat ibadah dengan tempat tinggal saya yang lumayan jauh. Ini semua sangat berbeda dengan saya dulu sebelum datang ke Birang, sebuah desa di kabupaten kepulauan Talaud dimana saya bertugas mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar SM-3T. Kabupaten Kep. Talaud adalah kabupaten yang terbagi-bagi manjadi beberapa pulau. Tempat saya bertugas berada di pulau Kabaruan. Di pulau ini, masih belum terdapat masjid karena mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun sudah terdapat satu pasar, akan tetapi pasar tersebut masih belum cukup untuk menyediakan kebutuhan sehari-hari dan juga harganya yang relative mahal bila dibandingkan dengan pasar yang terdapat di pulau sebelah, tepatnya di pasar Lirung. Lirung adalah kota kecamatan yang terletak di pulau Salibabu. Para penduduk pulau Kabaruan sendiri masih sangat bergantung dengan pasar Lirung. Banyak orang-orang yang beragama Islam pergi ke Lirung hanya untuk sekedar melakukan ibadah di masjid. Sebenarnya di kabupaten Talaud itu sendiri sudah ada beberapa masjid. Namun masjid yang paling dekat dengan pulau Kabaruan adalah masjid yang ada di Lirung. Kebayakan orang islam yang asalnya dari pulau Kabaruan dan desa desa yang ada di pulau Salibabu akan melakukan sholat Jum’at disini. Untuk pergi ke Lirung, diperlukan ongkos yang tidak murah dan waktu perjalanan yang tidak sebentar. Sekali berangkat membutuhkan ongkos 100 ribu pulang-pergi. Untuk Menghemat biaya kami peserta SM-3T yang ada di pulau Kabaruan, terutama yang umat muslim sering pergi ke Lirung pada hari Jum’at. Sehingga kegiatan ibadah dan berbelanja bisa dilakukan di hari yang sama, dan saya sendiri melakukan sholat Jum’at dua Minggu satu kali karena kondisi yang jauh. Hari itu adalah hari Jum’at minggu kedua dalam bulan Januari. Sudah menjadi jadwal saya untuk pergi ke Lirung untuk melaksanakan sholat Jum’at dan berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sekitar pikul 06.30 saya sudah siap untuk berangkat. saya duduk di depan rumah menunggu jemputan oto. Oto adalah sebutan mobil bagi orang-orang Talaud. Biasanya pemilik oto akan menjemput saya di rumah, setelah malam sebelumnya saya bilang ke pemilik oto kalau saya hendak pergi ke Mangaran. Hal ini dimaksudakan agar pemilik oto bisa membatasi jumlah penumpang. Sebagai catatan, di sini kalau ingin pergi dengan oto, tapi tidak bilang ke pemilik oto sebelum hari berangkat, biasanya nanti tidak kebagian tempat duduk atau bahkan akan ditinggal oleh tuan mobilnya. Tak perlu waktu yang lama, oto sudah datang didepan rumah, masih belum ada penumpang, saya adalah penumpang pertama yang dijemput oleh tuan oto. Tanpa dikomando pun saya langsung naik di atas oto, setelah itu, pelan-pelan oto berjalan meyusuri desa Birang untuk menjemput para penumpang yang lain. Tidak membutuhkan waktu yang lama, oto pun sudah penuh, bangku bangku yang tadinya kosong kini sudah terisi dengan para penumpang, suasana yang hening ketika menjadi penumpang pertama sudah pecah dibarengi dengan suara ibu-ibu yang nyaring. Maklum penumpang disini kebayakan adalah para ibu-ibu yang hendak pergi ke pasar Lirung. Terdengar salah satu ibu-ibu beratnya kepada saya menggunakan bahasa daerah yang sudah tidak asing bagi saya. “engku, manahuapa?” saya hanya menjawab “manahu Lirunga” yang artinya “engku mau kemana?” mau ke Lirung jawab saya. Engku disini adalah panggilan bagi guru laki-laki yang belum menikah, sedangkah untuk guru perempuan yang belum menikah dipanggil enci. Selang tidak beberapa lama mereka bertanya lagi, mau bikin apa di Lirung engku, belum saya jawab penumpang lain sudah menjawab, “mau sholat Jum’at, karena hari ini hari Jum’at.” Mereka langsung paham tentang masalah itu, dan mereka tidak mengucilkan saya dalam oto itu, sikap mereka yang saling menghargai keyakinan orang lain masih sangat besar. Mereka menerima kami peserat SM-3T dari jawa yang bergama muslim dengan tangan terbuka. Sekali-kali mereka malah mengajak saya bercanda dengan menggunakan bahasa Talaud. Ah tapi saya tidak bisa. Ujung-ujungnya saya malah jadi bahan tertawaan saja. Sekedar gambaran bahwa, untuk mencapai pulau sebelah tepatnya di Lirung, saya harus pergi ke pelabuhan Mangaran. Dan untuk mencapai Mangaran, diperlukan waktu 1,5 jam perjalanan darat menggunakan sebuah oto. Jangan harap naik oto disini enak seperti yang biasanya kita temui di jawa atau di kota yang ada AC-nya ataupun tempat duduk yang enak dan nyaman. Semua berbanding terbalik dengan apa yang saya temui di kota tempat saya tinggal. Akses jalan untuk menuju pelabuhan juga sangatlah sulit, jalan penuh dengan batu, bukan hanya batu gunung, melainkan juga batu karang. Kondisi jalan yang tidak rata, kadang naik dan juga turun menambah sederetan ketidaknyaman di dalam oto. Ketika selama perjalanan, badan tidak akan berhenti bergoyang. Sesampainya di pelabuhan Mangaran, para penumpang segera turun dari Oto termasuk saya. Begitu turun dari oto, mata langsung dimanjakan dengan pemandangan laut yang indah, warna biru laut dan biru langit yang berpadu dengan warna putih awan yang terlihat seperti lukisan, serta warna hijau tumbuhan yang tumbuh di pulau sebelah menandakan bukti kekuasaan Tuhan. Pemandangan seperi ini akan membuat hati yang diliputi perasaan cemas dan kalut akan langsung lenyap seketika. Suasana pelabuhan kini sudah ramai, para penumpang berdatangan dari berbagai desa yang ada. Suara-suara nyaring mereka seakan-akan menenggelamkan suara ombak. mereka sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada yang hanya berdiri mununggu perahu siap untuk berangkat, ada yang sibuk mengobrol dengan penumpang lain ada juga yang bertelfon dengan para kerabatnya. Sementara saya sendiri hanya sibuk melihat aktifitas para awak perahu yang sibuk mengangkat hasil panen para penumpang seperti pala, kopra dan cengkih ke dalam perahu yang akan dijual di pasar Lirung. Sebenarnya mereka bisa saja menjual hasil panenya di pulau kabaruan tanpa harus ke pulau Sebelah. Tapi ketika saya tanya kenapa tidak menjual disini mereka hanya menjawab kalo harga di pulau sebelah tepatnya di Lirung masih lebih mahal daripada disini. Satu alasan yang menurut saya logis. Karena sebagai petani mereka menginginkan hasil panenya dibeli dengan harga yang pantas sesuai dari hasil jerih payah mereka. Selang waktu yang tak berapa lama, tuan perahu mengisyratkan sesuatu kepada para penumpang. Yah walau saya masih belum paham betul tentang bahasa daerah Talaud, tapi saya tahu maksudnya. Maksudnya adalah, perahu sudah siap untuk berangkat dan penumpang dipersilahkan naik ke atas perahu. Sesegera mungkin saya dan penumpang mempersiapkan diri untuk menaiki perahu, celana training yang saya pakai, saya angkat sampai di atas lutut untuk menghindari dari basah oleh air laut. Hal ini dikarenakan perahu tidak bisa sandar di ujung pantai. Perahu harus sandar agak ketengah untuk menghindari benturan perahu dengan pasir atau batu karang yang ada. Secara otomatis, penumpang harus melewati air laut dulu baru bisa menaiki perahu. Sesampainya di perahu pikiran saya pun masih belum tenang, Jangan pernah harap kalau perahu yang saya naiki adalah perahu yang enak dan nyaman, nanti hanya akan membuahkan kekecewaan dalam diri, di perahu ini hanya terdapat tempat duduk di lambung perahu. Itupun harus berebut dengan orang dan sesak. Tapi jujur selama saya disini saya hanya bertahan sekali duduk di dalam perahu ketika menyebrang, itupun karena cuaca di luar sedang hujan deras disertai angin, dan ombak yang besar. Terkadang walaupun panas karena teriknya matahari, saya lebih suka duduk di luar, tepatnya di atas perahu, sambil menikmati pemandangan dari atas perahu. Menikmati setiap inci kehidupan yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemandangan dan pengalaman yang jujur tidak akan pernh saya jumpai selama saya hidup di jawa. Semilirnya angin, suara benturan perahu dengan air laut disertai suara mesin perahu dan sesekali muncul ikan terbang atau orang disini menyebutnya sebagai ikan antony. Sedangkan saya sendiri menyebutnya sebagai ikan Indosiar, karena icon dari salah satu station TV ternama itu adalah ikan terbang. Sempat dulu saya hanya berfikir kalau ikan terbang tidaklah nyata, itu hanyalah bualan semata, atau hanya imajinasi orang belaka, bahkan beberapa teman saya dulu pernah menyakinkan kalau ikan terbang itu ada, tapi selalu saya membantahnya. Tetapi ketika saya berada disini saya mengaku salah atas argument argument saya dulu, saya sangat percaya bahwa ikan terbang itu benar benar nyata. Ikan Antony selalu mewarnai perjalanan saya ketika akan pergi menyebrang ke pulau sebelah. Dari dalam air mereka melompat dan mengepakkan siripnya yang jujur lebih mirip sayap daripada sirip. Jarak mereka terbang pun tidak dekat, kira-kira 10 meter, jarak yang lumayan jauh untuk seukuran ikan, terbang menjauhi perahu yang lewat. Tapi hal itu tidak selamanya menjadi sesuatu perjalanan yang menyenangkan. Pada waktu itu minggu kedua di bulan januari, orang orang bilang bahwa bulan antara September sampai Februari adalah musim ombak. kondisi ombak pada waktu-waktu itu sedang besar. Pada awalnya saya hanya berpikiran seberapa besar ombak disini dibandingkan dengan ombak di pantai selatan, pasti masih kalah dengan ombak yang ada di pantai selatan. Saya tidak segampang percaya dengan apa kata orang-orang itu, akan tetapi ketika saya melihat kearah lautan, dan terbukti apa yang orang katakan, bukanlah suatu kebohongan semata. Memang ombak sedang besar, tapi pada waktu itu sudah jadwal saya untuk pergi ke Lirung untuk menunaikan sholat Jum’at sekalian berbelanja. Mau tidak mau saya harus berangkat. Apa yang menjadi ketakutan saya akhirnya benar terjadi. Tepat ketika berada di pertengahan lautan, ombak sangat besar, selama saya melakukan perjalanan, itulah hari dimana ombak terbesar yang saya jumpai. Perahu miring ke kiri dan ke kanan dihantam kerasnya ombak, bahkan sempat beberapa kali ombak lebih tinggi dari perahu, sehingga bagian depan perahu itu masuk ke dalam ombak. Penumpang yang berasal dari warga setempat yang notabenya sudah akrab dengan ombak masih merasa ketakutan pada waktu itu, ada yang berteriak menyebut nama Tuhanya, ada yang bernyayi lagu rohani dan saya pun tidak henti-hentinya berdoa kepada Allah SWT meminta keselamatan dalam melakukan perjalanan, karena ketika berada di tengah lautan, satu-satunya penolong kita adalah Allah SWT. Namun di tengah ketakutan tersebut muncullah suatu pemandangan yang sangat langka bagi saya pribadi. Ya, ketika perahu terombang ambing di tengah lautan, tiba tiba di samping perahu terlihat sosok hewan laut yang terkenal sebagai hewan laut yang sangat bersahabat dengan manusia. Ya mereka adalah lumba-lumba yang sedang bermain di sisi-sisi perahu. Hewan yang kehidupanya suka berkelompok ini sedang asik bermain-main dengan ombak, ada yang yang hanya berenang mengikuti gerekan ombak, ada juga yang melompat dari air, sampai-sampai tingginya perahu kalah dengan tingginya lompatan lumba-lumba. Sontak perhatian para penumpang pun tertuju kepada lumba-lumba tersebut. Para penumpang yang awalnya teriak, yang awalnya menyayi lagu rohani menghentikan sejenak aktifitas mereka. Mereka seperti terkena sihir dari pesona lumba-lumba ini, begitupula saya pribadi. Padahal ini bukanlah pertama kalinya saya melihat lumba-lumba bermain, namun yang saya lihat dulu sebelum saya kemari adalah lumba-lumba terlatih yang ada di salah satu tempat wisata. Munculnya lumba-lumba ini, sedikit banyak mengurangi perasaan takut para penumpang. Sungguh pemandangan yang mungkin seumur hidup bisa saya temui sekali ini. Pengalaman yang luar biasa. Namun sayang, apa yang saya lihat sekarang tidak bisa saya abadikan dalam bentuk gambar ataupun video. Kapal berjalan pelan tapi pasti menuju Lirung, ombak masih besar tetapi tidak sebesar ombak yang ada di pertengahan. Sekawanan lumba-lumba yang tadi menemani perjalanan saya telah menghilang dari pandangan mata, Di angkasa pun sudah muncul burung-burung yang terbang kesana kemari yang menandakan bahwa kami sudah dekat dengan daratan. Tampak dari kejauhan sudah terlihat bangunan-bangunan rumah dan menara masjid yang berada di Lirung. Hal ini menandakan perjalanan tidak membutuhkan waktu yang lama lagi. Akan tetapi perahu kecil yang menjadi alat transportasi kami pun masih di permainkan oleh kencangnya ombak. Perasaan penumpang perahu yang kecil ini sudah beraduk campur, antara gembira, senang, haru dan takut menjadi satu. Perasaan yang sulit sekali digambarkan dengan sebuah kata-kata. Seiring perjalanan perahu yang sudah mulai melambat, mendekati pelabuhan, suara-suara lagu rohani yang didendangkan oleh sebagaian penumpang dan jeritan jeritan yang memecah keheningan laut pun kian tenggelam bersama suara deburan ombak yang menghantam badan perahu. Tak lama sang awak perahu yang gagah nan perkasa dengan kulit yang berwarna coklat kehitaman berjalan dengan lincahnya melewati kerumunan penumpang yang berada di atas perahu menuju haluan perahu. Tak terlihat expresi ketakutan dalam wajah mereka. Hal ini semakin menambah kekagumanku akan orang-orang Talaud ini. Pernah saya bertanya pada salah satu awak perahu disini, apa bapak tidak takut dengan ombak?, dengan ringan mereka menjawab, tidak engku. Saya tidak takut. Saya sudah terbiasa dengan ombak yang seperti ini. Ini masih belum terlalu besar dibandingkan tahun-tahun yang dulu. Wih suatu jawaban yang semakin menambah kekaguman diriku akan orang-orang ini. Sepintas teringat lagu ciptaan ibu Sud yang diciptakan pada tahun 40 an dengan judul “Nenek Monyangku Seorang Pelaut”. lagu yang menceritakan bahwa dulu nenek monyang bangsa Indonesia yang berprofesi sebagai pelaut yang handal, menerjang ombak tiada takut, yang semula aku anggap hanyalah sebuah lirik lagu yang hanya berfungsi sebagai bumbu lagu agar kelihatan menarik akhirnya terbantahkan disini. Dengan bukti yang saya alami selama disini adalah suatu kemunafikan dalam diriku jika aku masih mengingkari kebenaran dari lagu tersebut, lagu yang dibuat untuk menghormati keberanian dari pelaut bangsa ini. Lirung sudah semakin dekat, awak kapal yang sudah berada di haluan perahu sudah memegang tali jangkar. Tak lama pun sang awak kapal memberi komando kepada awak kapal lain yang bertugas mengontrol mesin untuk memelankan laju mesin perahu. Setelah mesin perahu semakin pelan, sang awak kapal yang berada di haluan pun segera melemper jangkar. Jangkar yang terbuat dari besi utuh berbentuk seperti kail bermata empat diikat dengan rantai, diangkatnya sendirian seperti mengangkat sekarung kapas, kelihatan ringan bagi mereka, tapi mungkin bagi saya itu sangat berat sekali. Jangkar sudah di lempar ke lautan, menandakan bahwa sebentar lagi perahu akan sandar di dermaga, arah perahu pun sekarang sudah berbalik, ujung tali jangkar yang diikat di perahu membuat perahu memutar. Kini posisi belakang perahu sudah menghadap ke daratan. Tak lama mesin perahu pun dimatikan dan tali-tali perahu sudah dilempar ke daratan. Para awak kapal yang sudah berada di daratan segera mengambil tali tersebut dan segera mengikatnya di bebatuan besar dan pohon-pohon yang ada. Hal ini agar perahu tetap diam di tempat. Para penumpag satu-persatu sudah mulai berdiri dari tempat duduknya, mereka senang karena sudah tidak berada di tengah lautan, putihnya wajah mereka karena pucat perlahan-lahan menghilang di barengi senyum mereka. Ya, senyuman yang keluar karena perasaan senang dan lega sudah tidak berada di tengah lautan. Walaupun senyum sudah keluar dari bibir mereka, semua ini masih belum menandakan bahwa usai sudah perjuangan mereka untuk mencapai tanah Lirung, belum, karena ombak di bawah perahu besar, maka mereka tidak bisa jika harus berjalan kaki menuju daratan. Karena air laut yang pasang pasti akan membuat basah celana mereka jika harus menyebrang sendiri tanpa di bantu awak perahu. Ya satu-satunya cara agar samapai di daratan biar tidak basah adalah menggendongnya. Penumpang harus digendong oleh para awak perahu. Satu persatu para penumpang di gendong oleh awak perahu, saya sebenarnya tidak mau bila harus di gendong, tapi mau gimana lagi, daripada basah, padahal dulu saya punya badan yang gemuk, 80 KG, bukan sesuatu yang ringan. Tapi tetap saja mereka mau untuk menggendong saya ke daratan. Wah semakin menambah kekagumanku atas orang orang ini. Dalam hati saya cuma bisa mengucapkan syukur kepada Illahi karena saya telah ditempatkan dan ditugaskan di sini. Tidak ada kata sesal pun terucap. Walaupun kehidupan saya serba terbatas, dan saya termasuk golongan minoritas, tetapi saya tetap bangga pernah menginjakan kaki dan mengabdikan diri di Kab. Kep. Talaud. Sebagaimana pepatah mengatakan “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”, sungguh pepatah yang sangat berguna sekali bagi saya ketika menginjakkan kaki di pulau nan Elok ini. Pertama kali datang di pulau tercinta ini, saya berniat tulus mengabdi dan menghargai apa yang sudah menjadi tradisi mereka, karena para masyarakat disini akan memberikan balasan yang lebih baik daripada apa yang kita berikan. Semua orang disini sangat ramah, sikap saling menghargai agama satu dengan yang lain masih sangat tinggi. Hal ini sangat saya rasakan selama saya disini. Saya mengucapkan terimakash setulus-tulusnya kepada warga masyrakat Talaud khusunya desa birang atas semunya. Mereka telah menjadi bagian dari keluarga besar saya. Saya sangat belajar banyak tentang arti kehidupan secara nyata. Semua yang sudah saya alami di pulau tercinta dan indah ini akan menjadi kenangan sekaligus pembelajaran yang sangat berharga buat saya.

Senin, 16 April 2012

Malam tadi saya mimpi menikah dengan seorang wanita yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. padahal malam sebelum mimpi saya sempat mengutarakan keinginan saya kepada teman saya kalo suatu saat saya ingin menikah dengan wanita yang tidak pernah saya kenal senelumnya. Eh,, malah sama Allah di kabulin keinginan saya walo dalam mimpi. semoga gadis yang saya impikan itu betul betul ada dalam dunia nyata. setelah bangun saya menulis status di Fb say dengan ststus bertemu dengan gadis itu.. setelah beberapa lama.. saya membuka fb ternyata apa yang saya tulis mendapatkan coment yang bayak dari teman teman saya khususnya teman teman sma saya. tapi saya baca koment itu malah bikin ketawa sendiri.. bukan nya coment seperti yang saya harapkan tapi malah coment coment yang isinya mengolok ngolok teman saya sewaktu SMA. pertama baca coment tersebut jujur saya ingin marah, saya ingin mengolok ganti teman saya itu sekaligus kasihan dengan teman ce saya yang menjadi bahan olok olok an. tapi dalam kemarahan saya terbesit kata yang selalu membuat saya mengurungkan niatan saya yakni "BUAT APA" maksudnya kalo marah terus buat apa. kata kata simple tapi efisien untuk menahan rasa marah saya. lama ku baca coment mereka saya malah merasa kasihan pada diri mereka. meraka sudah kerja udah lulus kuliah tapi kuk gak berubah cara berfikir dan memandang satu dengan yang lain? apa di bangku kuliah mereka tidak pernah di ajarakan tentang bagimana menghormati satu sama lain. apa dalam agama yang mereka pelajri di halalkan untuk menyakiti hati manusia yang lain?? ngiris saya memikirkan hal tersebut. mereka seolah olah merasa paling sempurna dan merasa paling cakep, mungkin di mata orang lain iya, tapi di mataku justru merak adalah orang orang yang sangat amat jelek dan sungguh sangat perlu di tolong..

pesan buat kita semua. umur itu tidak ada yang tau sampai kapan. bisa saja kita besok tidak bisa melihat sinar matahari lagi, jadi manfaatkan hidup ini semaksimal mungkin, sebaik mungkin, dan sebarokah mungkin. karena hidup kita di dunia ini menentukan kehidupan abadi kita di dunia selanjutnya..
semoga allah selalu memberi rahmatnya buat kita semua...

Rabu, 11 April 2012

kisah klasik

hari ini hampir 2 bulan lulus dari kuliah. canda, tawa, bahagia dan rasa kebersamaan dengan tema-teman seperjuangan perlahan-lahan hilang dan kemungkinan suatau saat akan lenyap termakan oleh waktu. Akan tetapi kenangan dengan mereka tidak akan pernah terlupakan. ya.. kenangan indah dimana canda, tawa itu akan mengisi dan menetap dalam relung jiwaku. tapi itu adalah sebagian dari proses kehidupan. seperti kata pepatah di mana ada pertemuan di situ pula ada perpisahan. Tetapi sujud sukur tetap selalu aku panjatkan buat Tuhanku karena telah memepertemukan dengan teman teman yang luar biasa seperti mereka. terlepas dari lamunanku akan indahnya masa masa kuliah itu, sekarang sudah harus berfikir tentang kehidupan selanjutnya. kehidupan dimana harus hidup dengan orang orang baru, pekerjaan baru, tentunya kehidupan yang akan mengukir kenangan baru, yani kehidupan dimana saya sebagai seorang anak manusia harus hidup mandiri, hidup yang harus mulai lepas dari kemanjaan hidup. dimulai dengan mancari pekerjaan yang sesuai dengan hati nurani saya, dengan kenyaman saya, pekerjaan yang halal yang barokah. dan saya harus berjuang untuk mendapatkan pekerjaan itu. harus tetap optimis walao mendapatkan penolakan. saya yakin jika kita berusaha dan yakin pada kekuasaan Allah semuanya akan indah pada waktunya.


maaf jika dalam tulisan saya masih banyak kesalahn. ini adalah tulisan pertama saya. jadi pasti akan terdapat banyak kekurangn dan kesalahan.
terima kasih